Article Detail

MENGAPA SALIB?

Salib dalam bahasa Yunani disebut Stauros atau Skalops, dalam bahasa Latin, salib disebut Crux Simplex, dan dalam bahasa Arab disebut Al-Salib, yang dipahami sebagai dua balok kayu yang bersilang membentuk sudut 90 derajat sehingga terbagi dalam 4 arah. 

Pada abad ke-6 SM sampai abad ke-4 Masehi, salib merupakan metode hukuman mati yang kejam, sangat menyakitkan, sekaligus memalukan. Esensi dari penyaliban bukanlah kematian itu sendiri, melainkan penderitaan saat menjelang kematian. Menurut Sejarawan Roma, Herodotus, hukuman salib berasal dari Babilonia dan melalui Persia dan Fenesia diterima oleh hukum Romawi. Dari sinilah tradisi hukuman salib diterapkan di Kekaisaran Romawi untuk menghukum para budak, penduduk setempat, dan penjahat kelas rendah demi menjaga stabilitas dan keamanan.

Namun makna Salib menjadi berbeda sejak Pontius Pilatus memerintahkan agar Yesus dari nazaret dihukum mati dengan cara disalibkan.  Kematian Yesus di kayu salib itu bukanlah sesuatu tanda kekalahan atau aib, tetapi justru kemenangan. Penderitaan dan wafat-Nya itu memang merupakan suatu ‘kebodohan’ menurut pandangan manusia, tetapi merupakan ‘kemenangan’ bagi Allah (lih. 1 Kor 1: 18-31). Maka Yesus tidak memberontak dan malah menyerahkan diri-Nya demi memenuhi rencana keselamatan Allah. Di Perjanjian lama, para nabi sudah bernubuat tentang bagaimana cara Mesias akan wafat. Dalam nubuatnya, Daniel mengatakan bahwa Mesias akan disingkirkan, sekalipun Ia tidak melakukan kesalahan sekecil apapun (lih. Dan 9:26). Selain itu nabi Yesaya juga menggambarkan Yesus sebagai Hamba yang menderita (the Suffering Servant). Kemudian lebih lanjut nabi Yesaya memberikan gambaran jelas bahwa Mesias harus menderita untuk menebus dosa manusia sehingga manusia akan menerima keselamatan (lih. Yes 42, 49, 50, 53).

Seperti yang telah dinubuatkan oleh para Nabi, wafat-Nya Tuhan kita Yesus Kristus dimaksudkan untuk “memenuhi kehendak Allah.” Melalui sengsara dan wafat Putera-Nya ini, Tuhan Allah mengundang kita kepada keselamatan dan hidup yang Dia kerjakan bagi kita. Dengan ikut serta dalam sengsara dan wafat-Nya, Yesus menjadi teladan tiada duanya bagi kita untuk manusia beriman yang setia sampai akhir.

Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita” (Ibrani 4:14). 

 “…marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:16).

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment