Article Detail
MEMAKNAI TEKNOLOGI
Suatu ketika ada kunjungan belajar ke sebuah sekolah swasta. Setelah selesai diajak berkeliling melihat-lihat lingkungan dan proses belajar mengajar di sekolah tersebut, para guru tamu “heran” dengan sekolah yang mereka kunjungi. Ternyata sekolah tersebut kalah modern dengan sekolah mereka sendiri, baik dari segi fasilitas maupun pelayanan. Ketika mereka melihat para siswa membayar uang sekolah melalui bagian keuangan maka guru tamu itupun bertanya, “Mengapa tidak memakai model banking? Di sekolah kami sudah begitu. Orangtua bisa membayar langsung di bank, bisa juga pakai tranfer melalui m-banking.” Guru tuan rumah menjawab, “Barangkali kami dianggap ketinggalan zaman. Tapi ada nilai-nilai yang kami perjuangkan. Dengan membayar uang sekolah sendiri, para siswa berlatih bertanggung jawab atas kepercayaan orangtua mereka. Selain itu mereka juga belajar nilai-nilai kejujuran dan kemandirian. Inilah nilai-nilai yang kami perjuangkan dan kami tanamkan kepada anak-anak.”
Tak bisa dimungkiri, globalisasi telah mengubah kultur dunia dari ‘brick culture’ menjadi ‘click culture’. Hanya dengan sekali klik, apa yang terjadi di belahan bumi ini dapat segera diketahui. Perubahan ini tentulah berdampak ke seluruh sendi kehidupan. Tak terkecuali dunia pendidikan. Hanya dengan sekali klik para siswa dapat mengunduh berbagai macam informasi sebagai sumber belajar tanpa harus banyak membuang waktu untuk membaca buku yang besar pun yang tebal dan mengeluarkan beaya yang tidak sedikit untuk membeli buku itu. Begitu pula para guru. Keberadaan PC atau lap top dan LCD sungguh sangat membantu mereka mengajar. Guru tidak perlu menulis di papan tulis, cukup dengan program power point dan berbagai macam program lain, materi bisa tersampaikan tanpa mengeluarkan beaya fotocopy. Para siswa pun cukup membawa HP, dan semua materi dapat tercopy tanpa harus menjejali tas ransel dengan berbagai macam buku yang cukup berat bagi pundak kecil mereka. Pekerjaan rumah dan tugas cukup diketik di gadget mereka dan seandainya harus dicetak maka printer akan mengerjakannya dengan rapi tanpa ada coretan bolpoin atau guratan tip-ex. Sementara pembelajaran pun tidak perlu repot, cukup di ruang kelas dan materi pembelajaran dapat tersampaikan melalui layar LCD. Benarkah demikian? Haruskah kita mengikuti arus zaman atau bersikap resistan terhadap perubahan?
Kehadiran teknologi di dunia pendidikan adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Di dunia yang serba bergerak cepat, kemudahan dan kepraktisan sungguh sangat membantu. Bagaimana tidak? Sebagai misal dengan adanya net-banking, dan layanan perbankan lain orangtua tidak perlu repot mengurus uang sekolah anaknya. Anak pun tidak perlu repot membawa uang sekolah yang beresiko hilang. Komputer, lap top, LCD dan berbagai ragam kecanggihan alat teknologi yang serba paperless sungguh praktis dan mempermudah kinerja. Akan tetapi, mengajarkan nilai-nilai yang mendidik para siswa untuk lebih humanis tidak boleh begitu saja ditinggalkan. Tidak ada yang salah dengan kebijakan sekolah tuan rumah seperti dalam cerita di atas. Bukankah sekolah adalah lembaga pendidikan yang membekali para siswa bukan hanya menjadi manusia cerdas secara akademis tetapi juga menjadi manusia yang humanis? Dengan hadirnya dunia perbankan di sekolah misalnya, para orangtua tidak perlu khawatir bahwa anaknya akan kehilangan uang sekolah, lupa memberikan uang sekolahnya atau bahkan menyalahgunakan uang sekolah yang diberikan. Lalu, bagaimana para siswa dapat belajara tentang nilai-nilai kehidupan? Jangan-jangan ketika mereka ditanya berapa uang sekolahnya mereka akan menjawab tidak tahu karena semua sudah diurus orangtua mereka. Seberapa besarpun uang sekolah mereka, para siswa perlu belajar bahwa bersekolah tentu saja mengeluarkan beaya yang bahkan terkadang tidak sedikit jumlahnya. Dengan membayar uang sekolahnya sendiri, mereka dapat menghargai jerih payah orangtua untuk membiayai anaknya. Selain itu, dengan membayar sendiri nilai-nilai seperti tanggungjawab, kejujuran, kemandirian dan nilai-nilai lain menjadi bermakna karena siswa langsung mengalaminya.
Nilai-nilai humanis tidak bisa ditawar lagi. Namun demikian, tidak berarti sekolah harus menjadi ‘tradisional’ dan resistan dengan kemajuan teknologi. Meninggalkan teknologi, hanya akan membuat kita kembali ke zaman batu (brick culture). Maka, biarlah teknologi itu menjadi sarana agar dunia pendidikan selalu mengikuti perkembangan zaman tanpa mengabaikan nilai-nilai humanis. Biarlah belajar tidak hanya terbatas di ruang kelas di mana siswa hanya menatap layar HP, lap top atau LCD. Bukankah pembelajaran di luar kelas memberi ruang bagi para siswa berolah rasa dan raga, mengasah motorik dan bukan sekadar akademik? Menulis dengan tangan bukan hanya kegiatan motorik tetapi juga mengolah rasa yang bersifat afektif karena membutuhkan ketelitian untuk menghindari coretan kesalahan, ketelatenan yang melatih kesabaran, kerapian dan keindahan sehingga tulisan tangan menjadi enak dibaca oleh orang lain. Informasi kemajuan belajar yang bisa diakses lewat e-mail atau whatapps, sangatlah praktis dan efisien bagi para orangtua untuk memantau hasil belajar putra-putrinya. Namun, ketika orangtua bertandang ke sekolah bertemu dan menyapa guru anaknya, adalah suatu bangunan komunikasi yang humanis karena mereka menjadi saling sapa dan mengenal satu sama lain sebagai manusia.
Teknologi bukan sesuatu yang harus dihindari. Justru dengan adanya kemajuan teknologi, kemudahan, kepraktisan, penghematan adalah poin tersendiri yang sungguh sangat membantu. Namun pemanfaatan teknologi yang keliru hanya akan mengaburkan nilai-nilai yang menjauhkan siswa menjadi humanis.
Sudah semestinya pendidikan dikembangkan untuk membentuk pribadi seutuhnya sehingga para peserta didik dapat menghargai nilai-nilai hidup. Teknologi adalah sarana dan bukan tujuan utama. Menarik jika kita klik (googling) konon kabarnya conference room di kantor Google dimana whiteboard tempat mereka rapat, penuh dengan coretan tangan tentang materi pertemuan mereka. Justru ini terdapat di kantor di mana dunia bisa diakses dengan sekali klik saja yang membuat kita terbang ke belahan lain dunia. Saya jadi teringat cerita salah seorang teman guru yang mengatakan bahwa salah seorang temannya tidak mau menerima tugas tertulis siswanya yang masih ditulis tangan alias tidak diprint. “Zaman begini, tugas masih ditulis tangan?” begitu komentarnya. Ah, jangan-jangan kita para guru terjebak pada penggunaan teknologi tanpa makna.
Yogyakarta, 20 November 2023
*Guru Bahasa Inggris, mengajar di SMP Stella Duce 1 Yogyakarta.
-
there are no comments yet